Dia bertanya kenapa harus aku yang mengalami nasib seperti itu. Keluarga kami semula rukun akhirnya hancur karena perempuan itu. Aku berhenti sejenak membaca surat Annisa. Pikiranku mengingat kembali kejadian di asrama sekitar dua tahun yang lalu. Saat itu aku kehilangan uang yang akan aku gunakan untuk beli tiket pulang kampung saat lebaran. Setelah ketemu yang mengambilnya, dia tidak punya uang untuk membayar secara cash, tapi mencicil. Bahkan setelah kami lulus sekalipun cicilan itu belum juga lunas. Aku sudah mengikhlaskan. Aku merasa kasihan juga dengan Annisa. Dia terbiasa hidup mewah tiba-tiba tidak punya uang dan keluarganya berantakan. Aku lanjutkan membaca suratnya. Sekarang hidupnya hancur. Setelah lulus dia banyak melakukan perbuatan yang dilarang agama. Kembali dia mengatakan menyesal dulu tidak mau mendengar nasehatku. Membaca suratnya itu aku ikut sedih dengan keadaan Annisa. Aku menyadari betapa besar kehancuran seorang anak ketika keluarganya berantakan tidak terkecuali anak yang sudah remaja atau dewasa sekalipun. Apalagi akan lebih hancur kalau masih usia anak-anak.
Diakhir suratnya dia menulis. Betapa dia senang sekali saat terakhir bisa mentraktir kami di Pasar Temi, membelikan kami makanan dan kaos. Kemudian dia mengatakan dia minta maaf lagi karena uang yang dia pakai mentraktir kami adalah uang yang dia ambil dari dompetku.Tetapi aku sudah mengikhlaskan dan memaafkannya.
0 komentar:
Posting Komentar