Dunia bak sudah berada dalam genggaman. Semua informasi bisa diperoleh dalam sekejap. Seharusnya hal itu membuat kita menjadi lebih cerdas. Sayangnya, godaan teknologi tak sesederhana itu. Ia bisa menjerat banyak korban, aku salah satunya.
“Halo, Lun.” Sapaan Rara membuatku tak bisa menyembunyikan senyum lalu membalas sapaannya.
“Halo, Ra”
“Kok dari kemarin nggak bisa dihubungin? Kuota kamu abis ya?”
“Oh nggak. Kemarin ponsel aku jatuh terus rusak deh. Jadi sementara cuma pake ponsel mama. Untuk telepon sama sms bisa lah.”
“Duh, kasihan. Bawa ke service buruan biar nggak tambah parah.”
“Nanti sajalah. Lagi mager.”
“Dasar Luna. Yaudah asal kamu baik-baik aja disana.”
“Iya. Thanks, Ra.”
Obrolan kita berakhir. Rara adalah sahabat kecilku yang masih perhatian hingga kini. Lalu aku berbalik menatap ponsel yang sudah retak parah. Di sampingnya terletak sebuah buku yang masih utuh dan bisa kubawa ke sini. Ya. Aku sedang berada di rumah nenek. Kemarin Ibu hendak berkunjung dan aku meminta ikut. Sekalian refreshing, kan.
Disini berbeda. Setiap orang yang kutemui mengatakan aku sudah besar, sudah kelas 1 SMA. Itu membuatku tersadar, kini aku bukan anak kecil lagi. Waktu bermainku sudah banyak. Mereka tak henti-hentinya mengucapkan doa akan masa depanku.
“Wah. Cucu nenek sudah besar. Sekolah yang benar, supaya bisa jadi orang sukses.”
“Aamin. Terima kasih, Nek.”
Sukses? Masa depan? Sebuah pertanyaan besar yang tiba-tiba memenuhi kepalaku. Akan jadi apa aku dimasa depan nanti? Luna yang seperti apa yang menantiku didepan sana? Arrggh. Memikirkannya saja membuatku pusing. Sepertinya bermain Instagram bisa membuatku senang. Duh, ponselku kan rusak.
Masih teringat dengan jelas rutinitasku sebelum kesini. Menghabiskan waktu di Instagram dimulai dari menonton Instastory orang-orang, membuat sendiri, hingga mengunjungi akun-akun pembawa berita viral. Lalu setelah mendapatkan informasi yang bisa diprbincangkan, aku langsung menghubungi Rara.
“Ra, kamu tahu si Adara kan, feed Instagramnya itukan keren banget. Jalan sana-sini, shopping, makan direstoran.”
“Iya Lun. Adara memang kaya sih. Tapi dia sombong banget. ……”
Obroanku dengan Rara jika diketik mungkin bisa menjadi 2 bab. Yang awalnya mengungkap kekaguman hingga menceritakan keburukan Si Adara. Kemudian berpindah ke Si B, Si C, Si D, dan lainnya. Ternyata sangat menyenangkan menceritakan keburukan orang lain. Tanpa sadar bahwa aku juga tidak sempurna. Ditambah lagi tidak punya kelebihan apa-apa. Cuma jago main Instagram.
Kini aku sadar, waktu bermain memang dibutuhkan bagi anak-anak hingga remaja. Tapi bermain sudah tidak sesederhana dulu. Yang dulunya “dibutuhkan” menjadi “rutinitas”. Yang dulunya sampingan, kini malah jadi prioritas. Jika aku hanya bermain-bermain dan bermain lantas dimasa depan apa aku masih bisa tertawa saat bermain? Atau malah menangis karena terlalu banyak bermain?
0 komentar:
Posting Komentar